HONG HANA: Single Mother yang Mempertahankan Hijabnya di Tengah Tanah Perantauan, Korea Selatan
- Sella Enoviana
- Dec 16, 2018
- 7 min read
Kisah seorang single mother asal Uzbekistan dengan 2 anak, bernama Hong Hana. Kerap mengalami diskriminasi karena perbedaan latar belakang budayanya.

Korea Selatan menjadi negara yang kian digemari banyak kalangan, terutama pop culturenya yang makin mendunia. Saya pun termasuk seseorang yang sangat terpapar dengan konten-konten media Korea, salah satunya beragam variety show yang ditayangkan oleh berbagai saluran stasiun TV asal Korea. Hal ini juga didukung dengan kemudahan akses video dari channel Youtube mereka, seperti salah satu saluran yang paling sering saya tonton, KBS World TV.
Hal yang membuat saya semakin salut adalah bagaimana tayangan variety show dibuat dengan berbagai konsep kreatif dan sarat makna, seperti Hello Counselor yang mengangkat konsep talk show dengan penekanan pada kisah orang-orang dan rintangan komunikasi yang dialaminya, dan My Neighbor, Charles yang memuat berbagai rintangan yang dialami foreigners ketika tinggal di Korea. Dari dua acara ini lah saya mengetahui kisah Hong Hana.
Hadir di Hello Counselor pada tahun 2016 silam, Hong Hana menceritakan kisah diskriminasi yang dialaminya selama tinggal di Korea Selatan. Menurutnya, salah satu penyebab utama diskriminasi yang dialaminya adalah karena latar belakang budayanya yang berbeda, baik dari sisi negara asal hingga agama yang diyakininya. Dalam kesehariannya, Hana tetap mempertahankan hijabnya. Ini lah salah satu hal yang menurutnya paling menarik perhatian orang lain sehingga tak jarang ia mengalami kejadian-kejadian tidak menyenangkan.
Pernah suatu waktu ketika ia sedang berjalan, seseorang meneriakinya
“Hey, what’s that on your head (hijab)? Go back to your country.”
Bahkan ketika di beberapa tempat kerja, ia sering diminta untuk melepaskan hijabnya.
“Gosh, we don’t need someone like you. You’re fired.” komentar pihak tempat ia kerja sebelumnya, ketika Hana menolak untuk melepas hijabnya.
Tak hanya itu, Hana pernah dipegang kepalanya oleh orang asing ketika sedang berbelanja.
“You’re in Korea now. Take this thing off.” sambil menarik kepala (hijab) Hana

Pada acara tersebut, Hana juga menceritakan awal mulanya memutuskan untuk pindah ke Korea.
“When i first came to Korea, i was over the moon. I was so happy and thought that it was a safe country. I was blissful and excited. Then i happened to realize that the reality is a bit different from what i saw in dramas (Korean Drama)” — Hong Hana
Ia mengatakan bahwa ekspektasinya dari drama Korea yang ia tonton adalah betapa ramahnya orang-orang Korea. Namun dari pengalamannya, realita memang tak seindah yang ia tonton di TV.
Bahkan di awal kepindahannya, Hana pernah mengalami diskriminasi ketika ingin memesan makanan di suatu tempat makan Korea. Ia diminta untuk mengambil makanan sendiri dan pelayannya mengatakan bahwa tempat makan itu berkonsep self service. Di waktu yang sama, Hana melihat bahwa pelayan tersebut mengirim dan mengantar makanan langsung ke meja pengunjung Korea. Betapa kesalnya ia saat menyadari diskriminasi seperti itu ketika tiba di Korea.
Seperti yang kita tau, pada hakikatnya makhluk hidup dikaruniai kemampuan beradaptasi untuk bertahan hidup. Itu juga yang pernah Hana coba lakukan. Ia pernah mencoba untuk menyesuaikan diri dengan melepaskan hijabnya, namun ia tetap mengalami diskriminasi karena tampilan yang sangat foreigner — dengan ciri khas rambut keritingnya.
“I experience discrimination whether i wear this or not, so i thought that i should just wear my hijab” — Hong Hana
Kisahnya menarik perhatian banyak penonton dan ia kembali muncul di acara yang berbeda pada tahun berikutnya, yaitu My Neighbor, Charles: Where Korean meet foreigners that live in Korea. Keseharian Hana diliput di variety show ini, termasuk kehidupannya sebagai seorang single mother dengan kedua anaknya yaitu Hong Jimin (8 tahun) dan Anur (5 tahun).
Datang ke korea pada tahun 2007. Hana memutuskan untuk menikahi laki-laki Korea, Hong Seollae, dan menetap di Mokpo. Ia telah dinaturalisasi pada 2014. Kemampuan menguasai 4 bahasa yaitu Korea, Uzbek, Russian dan English membuat Hana berkesempatan untuk bekerja sebagai penerjemah di salah satu employment center, yang membantu penduduk asing untuk mencari pekerjaan di Korea. Kesibukannya membuat Anur, anak keduanya, sering ia titipkan ke daycare saat kakaknya, Jimin, pergi ke sekolah. Hana mengakui bahwa ia termasuk salah satu ibu yang tegas dan disiplin pada peraturan. Upaya membesarkan anak-anaknya secara tegas ini ia lakukan dengan harapan menjadikan Jimin dan Anur pribadi yang baik di kemudian hari.
Asal negara dan keyakinan agama yang dianutnya membuat Hana tetap mempertahankan hijabnya di tengah kehidupan masyarakat Korea. Ia juga kerap mengajarkan anak-anaknya budaya Uzbekistan dan mengenalkan mereka dengan agama islam sejak dini. Menurut Hana, pemahaman agama dengan tata cara ibadah yang beragam harus dikenalkan dengan anak-anak, agar mereka terbiasa dan lama-kelamaan memahami makna dari nilai-nilai yang diajarkan dalam agama.
Hal unik yang dialami Hana adalah ketika anak perempuan pertamanya sangat mirip ayahnya dan lebih condong ke budaya Korea, terutama dari cita rasa makanan yang ia sukai. Sementara anak laki-lakinya lebih condong ke budaya Uzbekistan, perihal makanan dan cemilan yang disuakainya. Ini juga yang membuat Hana tidak bisa kembali ke Uzbekistan karena anaknya sudah terbiasa hidup di tengah budaya dan kehidupan Korea, sebagaimanapun ia merasa tidak mudah hidup di tanah perantauan. Hana lebih khawatir jika Jimin akan merasakan kesulitan yang sama seperti saat ia datang ke Korea, dan mengalami diskriminasi di sepanjang masa pertumbuhannya.
Sulitnya bertahan hidup di negara yang asing baginya berdampak pada psikis Hana. Ia sering stress karena susah mengekspresikan perasaannya yang lama-kelamaan menjadi beban. Ia bahkan didiagnosa mengalami pseudodementiayang disebabkan oleh depresi. Berawal dari postpartum depression setelah kelahiran anak pertamanya, ketika sedang sendiri, ia sering merasa kesepian dan sering memikirkan banyak hal. Hal ini pula yang membuat Hana memutuskan untuk bercerai karena ia tidak mau mempersulit keadaan suaminya.
Hana sering merasa bersalah karena menurutnya ia banyak mengubah hidup suaminya, terutama ketika ia datang ke Korea dan memutuskan untuk menikah dengan suaminya. Walau mereka telah bercerai, Hong Seollae masih sangat memperhatikan keadaan Hana, hubungan mereka juga baik begitupun hubungannya dengan kedua anaknya. Ia juga masih sering mengunjungi kedua anaknya. Meski berbeda latar belakang budaya, mantan suaminya tetap menghargai budaya dan keyakinan Hana yang salah satunya adalah tetap memilih makanan hallal ketika mengajak anak-anaknya berpergian. Kesibukannya sering membuat Hong Seollae merasa bersalah karena tidak bisa membantu banyak, terutama dalam urusan mengasuh kedua anaknya.
“I’m a korean man, so i work day and night. I should’ve taken care of the kids on holidays but sometimes i couldn’t” — Hong Seollae
Menurut Hana, yang juga menjadi tantangan berat adalah karena keluarganya tidak ada bersamanya di Korea.
“It’s tiring to take care of the kids alone, and if i’m sick or if something happens, my kids will be left alone. I’m from another country so my mom or my family aren’t here. There’s no one” — Hong Hana
Meski demikian, Hana tetap menjaga hubungannya dengan keluarga di Uzbekistan melalui videocall. Ia juga bersyukur karena Hong Jimin, anak pertamanya, sangat dapat diandalkan dan bersikap dewasa. Jimin sering membantu ibunya untuk mengurus sang adik, hingga mengingatkan hal-hal yang sering terlupakan oleh ibunya.

Yang Hana alami membuat saya tertegun, betapa diskriminasi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi dimana saja, oleh dan pada siapa saja. Akan selalu ada tantangan tersendiri teruma jika hidup di tengah kultur yang berbeda, mulai dari tata cara hidup yang berbeda, hingga hal yang sederhana seperti perbedaan cita rasa makanannya. Namun, hal ini juga tidak selamanya buruk, akan selalu ada keuntungan yang juga didapatkan seseorang. Dalam kasus Hana, ia beruntung karena dapat menguasai 4 bahasa yang beragam sehingga mempermudah pekerjaannya sebagai penerjemah. Ia bahkan juga membuat ia berkesempatan membantu beberapa kasus migran di kepolisian Korea.
Perjuangan Hana bertahan hidup di Korea juga mengingatkan saya pada tahapan adaptasi budaya yang digambarkan dengan U-Curve oleh Lysgaard.

Jelas sekali fase honeymoon yang dialami Hana, ketika ia sangat bersemangat saat akhirnya sampai di negara yang ia idam-idamkan. Tanpa banyak persiapan, ekspektasi kehidupan di sana hanya ia dapatkan dari apa yang media tampilkan. Namun kenyataan yang harus Hana hadapi dan beragam diskriminasi serta tata cara hidup yang berbeda dari budaya negara asalnya membuat Hana merasakan culture shock, hingga akhirnya mengalami depresi. Berbagai usaha untuk beradaptasi pun sudah Hana coba lakukan, mulai dari menyesuaikan tampilannya, bahkan hingga mengubah kewarganegaraannya. Namun tampilan fisik yang dimiliki tetap membuat Hana tidak terhindar dari ‘pandangan berbeda’ dan diskriminasi tersebut. Hal ini membuat Hana semakin memperkuat identitasnya, yaitu seorang single mother muslim dengan segala tantangan yang ia hadapi.
Masalah diskriminasi pun masih sangat sering kita temui di kehidupan terdekat kita. Perbedaan agama, latar belakang budaya, asal daerah bahkan perbedaan pendapat pribadi juga bisa memicu terjadinya sikap intoleran. Hal ini bisa kita kurangi dengan membiasakan diri berpikir secara dua arah (dialektik) terhadap seseorang, karena bagaimanapun juga akan selalu ada dua sisi pada setiap hal. Kita bisa mulai dengan memperhatikan bagaimana konteks atau keadaan seseorang, latar belakang budaya hingga sejarahnya. Yang berusaha Hana sampaikan di sini adalah bagaimana hijab bukan sekedar benda aneh di kepalanya, namun sebagai simbol keagamaan dan tanggung jawabnya sebagai umat. Sama halnya dengan simbol-simbol agama lain, yang juga harus dihargai. Untuk itu, sangat penting bagi kita mencoba lebih mengenal dan memahami orang lain, sebelum memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya dan dapat mengarah ke perlakuan diskriminatif.
Kehidupan multikultural yang sangat kental di Indonesia juga bisa jadi lebih menarik apabila ditampilkan dengan tayangan kreatif yang menginspirasi seperti variety show di Korea. Bisa kita bayangkan bagaimana nilai-nilai toleransi berusaha dibangun pada seluruh publik, jika ada program TV yang membahas mengenai komunikasi antar budaya yang dialami seseorang, atau bagaimana rintangan sosial yang ia hadapi. Dengan penyampaian yang lebih santai, pembahasan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan bagaimana kemampuan TV mencakup banyak penonton akan semakin memudahkan pemaparan nilai-nilai toleransi.
Saya berharap, pemahaman tentang toleransi tidak hanya ditanamkan pada bangku-bangku sekolah saja. Nilai-nilai baik ini juga harus disampaikan secara masif ke seluruh kalangan masyarakat. Program TV menjadi salah satu media yang sangat baik, melihat bagaimana kemampuan jangka panjang media dalam penanaman nilai hingga mengubah persepsi seseorang. Dengan demikian, bersama kita coba bangung sedikit demi sedikit kehidupan sosial yang damai, tentram, dan dapat menghargai segala keunikan yang ada.

“I’d like to live happily with my kids. I hope all kids from multicultural families will not be discriminated” — Hong Hana
Referensi:
Martin, N. Judith and Thomas K. Nakayama. (2010). Intercultural Coomunication in Contexts, Fifth Edition. New York: Mc Graw Hill International Edition. An Immigrant’s experience of Finnish working culture oleh Eila Burns diakses pada https://erityisopettaja.fi/an-immigrants-experience-of-finnish-working-culture 13/12/2015
Youtube Video:
I’m a Korean that wears a Hijab [Hello Counselor / 2016.12.05] My Neighbor, Charles | 이웃집 찰스 — Ep.108 [ENG/2017.04.14]
Commentaires